Kamis, 24 Desember 2015

Kebanjiran #2


Ngomong-ngomong soal banjir, sepanjang ingatan saya, baru sekali Ponorogo dilanda banjir besar. Yakni saat pergantian tahun 2007 ke 2008. Beberapa desa di sekitar sungai Sekayu terendam banjir hingga setinggi dada manusia dewasa. Banyak orang mengungsi. Alhamdulillah rumah saya termasuk aman dari banjir. Jauh dari sungai dan tanahnya agak lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya.

Tapi tahun 2015 inilah akhirnya saya ikut merasakan banjir. Tentu tidak separah kejadian 8 tahun yang lalu. Tidak pula membuat keluarga saya mengungsi. Hanya perlu bebersih beberapa jam saja. Kemudian hidup normal kembali.

Baca juga: Kebanjiran #1

Yang tak disangka, ternyata mimpi buruk banjir malam itu terulang lagi. Besok sorenya, Ponorogo kembali diguyur hujan lebat. Tepat saya keluar dari tempat ngajar, hujan turun deras  sekali. Tapi saya nekat pulang dengan jas hujan menutup badan karena waktu sudah menjelang maghrib.

Sesampai di rumah, toko ditutup. Saya pikir biasa saja. Tiap hujan deras dan angin kencang, toko memang ditutup oleh ibu saya. Tapi pintu rumah juga dikunci. Akhirnya saya lewat pintu belakang yang terbuka.

Alangkah kagetnya saya melihat bagian belakang rumah sudah tergenang air. Bahkan lebih tinggi dari banjir malam sebelumnya. Sementara dari dalam, terdengar suara ibu saya menangis.

Yup, ibu saya menangis  tersedu-sedu karena rumah kami kembali kebanjiran. Di sela-sela tangisnya, ibu saya bilang baru selesai ngepel lantai sebanyak 5 kali. Soal bebersih rumah, apalagi urusan mengepel, ibu saya memang juaranya. Habis kebanjiran semalam, ibu saya sore itu ngepel sampai sebanyak itu karena beliau merasa masih ada lumpur yang menempel di ubin. Padahal buat saya itu sudah lumayan bersih. Sedang ayah saya hujan-hujanan di luar mencari tahu penyebab banjir kedua ini.

Adzan maghrib sudah terdengar ketika ayah saya menemukan penyebab dua kali banjir rumah kami: selokan di samping rumah tersumbat!

Akhirnya, setelah menunaikan sholat maghrib, ayah saya membongkar selokan yang sudah ditutup permanen itu. Dibantu saudara belakang rumah, ayah menjebol paksa cor-coran penutup selokan. Ketika terbuka sedikit lubang, barulah kami tahu penyebab tersumbatnya selokan. Dari lubang selokan itu, ayah dan saudara saya mendapati pecahan batu kali, batu bata, dan pecahan beton cor yang nyangkut di selokan rumah saya.

Saat musim kemarau lalu, lingkungan sebelah rumah saya memang lagi ramai bikin drainase proyek bantuan pemerintah. Sayangnya, sisa pembangunan drainasi dibiarkan begitu saja. Tidak disingkirkan apalagi dibersihkan. Akibatnya, ketika hujan deras, pecahan batu sisa tadi terbawa arus dan nyangkut di selokan rumah saya.

Jadi kronologinya, ketika selokan tersumbat, aliran air tdak lancar. Akhirnya, masuk rumah saya melalui paralon buangan air dari dapur yang terhubung langsung ke selokan. Air dari dalam tidak bisa keluar. Sementara air dari luar mendesak masuk melalui paralon tersebut. Pantas saja air yang masuk rumah bercampur banyak lumpur.

Kali ini pekerjaan bersih-bersih rumah lebih berat dari kemarin malam. Lumpur lebih banyak, air juga lebih keruh. Untung tidak ada hewan berbahaya yang ikut masuk rumah. Sekitar jam 10 malam, dalam rumah sudah mulai bersih. Tapi air di toko masih dibiarkan begitu saja. Badan sudah capek, lanjut lagi besok pagi. Paling tidak malam ini kami bisa tidur dengan sedikit tenang karena penyebab banjir sudah diketahui.

Esok paginya, kami kembali kerja bakti melanjutkan pekerjaan semalam. Hampir seluruh cor-coran penutup selokan dibongkar guna memudahkan pembersihannya. Pecahan sisa metarial bangunan dikeluarkan. Pantas saja air bisa masuk ke rumah. Soalnya lumayan banyak batu yang nyangkut di selokan.  

Sejak kejadian itu, ibu saya agak trauma kalau hujan turun deras. Takut kalau-kalau rumah kebanjiran lagi.

Di sisi lain, Alhamdulillah saya bersyukur bisa mengalami banjir ini. Saya jadi tahu rasanya kebanjiran. Yang pasti, ini jauh lebih ringan dari banjir yang dialami saudara-saudara di daerah lain yang kebanjiran dan akibatnya harus ngungsi selama berhari-hari bahkan berbulan. Hanya beberapa jam, rumah saya sudah kembali normal. Saya tidak bisa membayangkan gimana rasanya tinggal di pengungsian. Jadi, harus tetap bersyukur kan? ^_^

Mudah-mudahan rumah saya tidak banjir lagi.

Boleh bagi-bagi cerita yang rumahnya kebanjiran juga kayak saya ya :D 

Salam.




post signature

11 komentar:

  1. Urusan bersih2 memang pe er bgt. Saya pernah kebanjoran, tp dkantor, krn saluran air mampat dan keliarnya persisi di tengah2 kantor. Banjir lokal jadinya hehe .. . Ga tinggi bgt, cuma sebetis tp nyaris kena colokan komputer hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, sebetis buat ukuran saya udah tinggi Maak :D. Cuma semata kaki aja ibu sya udah heboh banget ini hehehe!

      Hapus
  2. Alhamdulillah..tempatku nggak bnjir mbak..tp harus siap2 ngungsi klo suatu saat Merapi "batuk" lagi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ya, kalo Merapi 'batuk' ngeri2 sedap ya Mbak.

      Hapus
  3. Tempat tinggal saya jg pernah jadi korban kelalaian org lain. Atap sll bocor meski berulangkali diperbaiki. Itu karna sisa pasir dinding rumah tetangga menyumbat aliran air. Pengen nangis rasanya! Karna keluh kita tak digubris. Semoga rumah mbak Vhoy tdk kebanjiran lg yaa..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang ga asyik ya Mak kalo kita jd korban kelalaian orang lain.
      Aamiin, makasih Mak Mutia ^_^

      Hapus
  4. Turut prihatin atas kebanjirannya, Mbak.. Semoga banjir tidak pernah datang lagi

    BalasHapus
  5. Aku suka merinding kalau kebanjiran. Takut ada binatang melata gitu. Huhu. Turut prihatin ya, Mbak. Semoga sehat :)

    BalasHapus
  6. kebanjiran di sini pas habis kelud batuk mbak. talang isinya pasir thok. walaaah...panik. lha wong tiba-tiba pas hujan air mak sooor...gitu. kamar mandi yang jadi tempat talang berujung ya mbludak. wis. listrik diputus dulu, cari senter. ngepel buru-buru selak airnya mbleber ke ruangan lain.

    eh itu pas banjir besar 2007-2008 itu kena dampaknya juga mbak. pas 1 januari 2008 sekeluarga mau ke madiun untuk njawab lamaran (pas belum nikah). karena jalur satu-satunya yang saya tahu ya cuma lewat ngawi sedangkan jalur ngawi-madiun ga bisa dilewati, akhirnya dikasih rute lewat klaten-wonogiri-ponorogo sama tetangga. keblasuk-blasuk deh. tapi alhamdulillaah selamat.

    BalasHapus
  7. Waktu masih anak-anak dulu, aku pernah berkali-kali merasakan banjir masuk rumah. Meski udah dibendung dan air yang masuk ke rumah bening, tetap aja dilarang bapak ama ibu main air. Asik sih sebenaranya, mungkin karena masih anak-anak ya jadi enggak mikir susahnya, hihiii

    BalasHapus