Bagi masyarakat Ponorogo,
jelang bulan Muharram atau Suro terbilang istimewa. Kenapa? Karena ada event
tahunan Grebeg Suro. Dan salah satu agenda Grebeg Suro yang paling dinanti
adalah kirab pusaka.
Kirab pusaka memang
hanya dilaksanakan setahun sekali. Tepatnya di hari terakhir bulan Dzulhijjah.
Atau bulan Besar kalau orang Jawa bilang. Sementara tanggal 1 Suro-nya ada
acara Larung Risalah Doa di Telaga Ngebel. Sekitar 30 menit berkendara dari
pusat kota.
Kirab ini biasanya
mengambil rute awalan dari Kota Lama di kawasan timur Pasar Pon, melewati jalan
utama, dan berakhir di alun-alun Ponorogo. Salah satu tujuan penyelenggaraan
acara ini adalah untuk napak tilas perjalanan berdirinya Kota Reyog di masa
lalu.
Nah, beberapa tahun
belakangan ini, acara serupa tidak hanya diselenggarakan oleh Pemkab
setempat. Tapi juga di sejumlah desa di wilayah Ponorogo. Memang, ada beberapa
desa yang memiliki kaitan erat dengan sejarah masa lalu Ponorogo. Salah satunya
kampung kelahiran saya, Desa Tajug. Hanya namanya sedikit diubah menjadi kirab
budaya.
Bulan Suro tahun ini,
pemerintah desa saya menyelenggarakan kirab budaya sebagai salah satu rangkaian
acara Haul KRMA Mertonegoro. Ini adalah penyelenggaraan tahun kedua.
Sedikit cerita, KRMA
Mertonegoro adalah Bupati pertama Ponorogo terhitung sejak perpindahan dari
ibukota lama ke ibukota baru.
Umumnya orang mengenal
Raden Batoro Katong sebagai Bupati pertama Ponorogo. Anggapan itu tidaklah
salah. Karena memang beliaulah pendiri sekaligus adipati pertama Kabupaten
Ponorogo. Saat Batoro Katong mendirikan Kabupaten Ponorogo, pusat pemerintahan
berada di Kota Lama. Sekarang di sekitaran Pasar Pon. Saat wafat, beliau
dimakamkan di Pemakaman Setono. Hingga hari ini, makam beliau ramai dikunjungi
para peziarah.
Selang 3 abad, saat
Ponorogo berada di bawah kendali KRMA Mertonegoro, ibukota kabupaten
dipindahkan ke tempat baru di kompleks Kantor Pemkab saat ini. Itulah sebabnya
beliau disebut sebagai Bupati pertama era kepindahan ibukota kabupaten ke
wilayah yang baru.
Ketika KRMA Mertonegoro
wafat, beliau dimakamkan di Pemakaman Giri Merto, Desa Tajug. Tempatnya menjadi satu dengan pemakaman umum milik
desa. Hanya saja, makam istimewa tersebut terletak di tanah yang lebih tinggi,
di dalam rumah cungkup yang biasa disebut dengan Gedong. Antara Gedong dan
makam umum dipisah oleh pagar pembatas. Untuk mencapai Gedong, kita harus jalan
kaki melewati makam umum sekitar 100 m. Lain kali akan saya tuliskan soal
Gedong ini.
Dengan keberadaan makam bersejarah tersebut, tidaklah mengherankan
apabila Pemerintah Desa Tajug mengadakan haul sang Bupati. Selain sebagai
bentuk penghormatan kepada beliau, juga sebagai upaya untuk mengenalkan jejak
sejarah di masa lalu yang ada di desa ini.
Rangkaian acara haul KRMA
Mertonegoro diawali dengan tahlil akbar di Gedong. Mulai dari
perangkat desa hingga warga masyarakat ikut serta dalam tahlil akbar ini. Selain itu, ada pula dari PAKASA atau
Paguyuban Kraton Surakarta. Dilanjutkan sarasehan yang membahas sejarah
Ponorogo dan Desa Tajug khususnya.
Kemudian ada acara nyekar
di kompleks Gedong dan jamasan alias memandikan senjata peninggalan KRMA
Mertonegoro. Berupa sejumlah tombak yang senantiasa ditutupi kain berwarna
kuning.
Kirab budaya adalah puncak
acara haul tahun ini. Agenda utamanya: mengkirabkan senjata peninggalan
Mertonegoro yang telah di-jamasi beberapa hari sebelumnya untuk diletakkan
kembali di dekat pusara beliau.
Tahun ini, Desa Tajug
cukup gumregah menyongsong kirab budaya ini. Terbukti tidak kurang dari 500
peserta ikut terlibat. Mulai dari jajaran Pemerintah Desa, PKK, karang taruna,
PAKASA, hingga siswa-siswi TK dan SD setempat. Tidak hanya itu. Dua kelompok
perguruan silat ternama yang ada di desa saya juga ikut serta. Tak ketinggalan
grup kesenian reyog dan gajah-gajahan ikut pula ambil bagian.
Kirab budaya sendiri
berlangsung khidmat dan meriah. Warga desa sangat antusias. Begitu pula
penonton dari luar desa. Mereka tumpah ruah sepanjang jalan yang dilalui peserta
kirab.
Iring-iringan kirab budaya
ini menempuh jarak sekitar 1 km. Mengambil start dari rumah Kepala Dusun
Bakalan menuju Pemakaman Giri Merto dan berakhir di kediaman Kepala Desa.
Semoga dengan
terselenggaranya haul KRMA Mertonegoro ini, generasi muda menjadi lebih paham
akan sejarah masa lalu tanah leluhur. Dan semoga warga Tajug semakin gumregah
–baik dalam nguri-uri peninggalan leluhur maupun dalam membangun desa tercinta.
Fotografer: Tri Rahayu Ningsih
Makacih brow
BalasHapusWelcome back mbak vhoy.
BalasHapusThank you, Mbak Diah 😘
Hapus