Sabtu, 21 September 2019

Tajug Gumregah di Haul KRMA Mertonegoro



Bagi masyarakat Ponorogo, jelang bulan Muharram atau Suro terbilang istimewa. Kenapa? Karena ada event tahunan Grebeg Suro. Dan salah satu agenda Grebeg Suro yang paling dinanti adalah kirab pusaka.

Kirab pusaka  memang hanya dilaksanakan setahun sekali. Tepatnya di hari terakhir bulan Dzulhijjah. Atau bulan Besar kalau orang Jawa bilang. Sementara tanggal 1 Suro-nya ada acara Larung Risalah Doa di Telaga Ngebel. Sekitar 30 menit berkendara dari pusat kota.

Kirab ini biasanya mengambil rute awalan dari Kota Lama di kawasan timur Pasar Pon, melewati jalan utama, dan berakhir di alun-alun Ponorogo. Salah satu tujuan penyelenggaraan acara ini adalah untuk napak tilas perjalanan berdirinya Kota Reyog di masa lalu.

Nah, beberapa tahun belakangan ini, acara serupa tidak hanya diselenggarakan oleh Pemkab setempat. Tapi juga di sejumlah desa di wilayah Ponorogo. Memang, ada beberapa desa yang memiliki kaitan erat dengan sejarah masa lalu Ponorogo. Salah satunya kampung kelahiran saya, Desa Tajug. Hanya namanya sedikit diubah menjadi kirab budaya.

Bulan Suro tahun ini, pemerintah desa saya menyelenggarakan kirab budaya sebagai salah satu rangkaian acara Haul KRMA Mertonegoro. Ini adalah penyelenggaraan tahun kedua.

Sedikit cerita, KRMA Mertonegoro adalah Bupati pertama Ponorogo terhitung sejak perpindahan dari ibukota lama ke ibukota baru.

Umumnya orang mengenal Raden Batoro Katong sebagai Bupati pertama Ponorogo. Anggapan itu tidaklah salah. Karena memang beliaulah pendiri sekaligus adipati pertama Kabupaten Ponorogo. Saat Batoro Katong mendirikan Kabupaten Ponorogo, pusat pemerintahan berada di Kota Lama. Sekarang di sekitaran Pasar Pon. Saat wafat, beliau dimakamkan di Pemakaman Setono. Hingga hari ini, makam beliau ramai dikunjungi para peziarah.

Selang 3 abad, saat Ponorogo berada di bawah kendali KRMA Mertonegoro, ibukota kabupaten dipindahkan ke tempat baru di kompleks Kantor Pemkab saat ini. Itulah sebabnya beliau disebut sebagai Bupati pertama era kepindahan ibukota kabupaten ke wilayah yang baru.

Ketika KRMA Mertonegoro wafat, beliau dimakamkan di Pemakaman Giri Merto, Desa Tajug. Tempatnya  menjadi satu dengan pemakaman umum milik desa. Hanya saja, makam istimewa tersebut terletak di tanah yang lebih tinggi, di dalam rumah cungkup yang biasa disebut dengan Gedong. Antara Gedong dan makam umum dipisah oleh pagar pembatas. Untuk mencapai Gedong, kita harus jalan kaki melewati makam umum sekitar 100 m. Lain kali akan saya tuliskan soal Gedong ini.

        Dengan keberadaan makam bersejarah tersebut, tidaklah mengherankan apabila Pemerintah Desa Tajug mengadakan haul sang Bupati. Selain sebagai bentuk penghormatan kepada beliau, juga sebagai upaya untuk mengenalkan jejak sejarah di masa lalu yang ada di desa ini.        



Rangkaian acara haul KRMA Mertonegoro diawali dengan tahlil akbar di Gedong. Mulai dari perangkat desa hingga warga masyarakat ikut serta dalam tahlil akbar ini. Selain itu, ada pula dari PAKASA atau Paguyuban Kraton Surakarta. Dilanjutkan sarasehan yang membahas sejarah Ponorogo dan Desa Tajug khususnya.

Kemudian ada acara nyekar di kompleks Gedong dan jamasan alias memandikan senjata peninggalan KRMA Mertonegoro. Berupa sejumlah tombak yang senantiasa ditutupi kain berwarna kuning.

Kirab budaya adalah puncak acara haul tahun ini. Agenda utamanya: mengkirabkan senjata peninggalan Mertonegoro yang telah di-jamasi beberapa hari sebelumnya untuk diletakkan kembali di dekat pusara beliau.

Tahun ini, Desa Tajug cukup gumregah menyongsong kirab budaya ini. Terbukti tidak kurang dari 500 peserta ikut terlibat. Mulai dari jajaran Pemerintah Desa, PKK, karang taruna, PAKASA, hingga siswa-siswi TK dan SD setempat. Tidak hanya itu. Dua kelompok perguruan silat ternama yang ada di desa saya juga ikut serta. Tak ketinggalan grup kesenian reyog dan gajah-gajahan ikut pula ambil bagian.











Kirab budaya sendiri berlangsung khidmat dan meriah. Warga desa sangat antusias. Begitu pula penonton dari luar desa. Mereka tumpah ruah sepanjang jalan yang dilalui peserta kirab.

Iring-iringan kirab budaya ini menempuh jarak sekitar 1 km. Mengambil start dari rumah Kepala Dusun Bakalan menuju Pemakaman Giri Merto dan berakhir di kediaman Kepala Desa.
           
Semoga dengan terselenggaranya haul KRMA Mertonegoro ini, generasi muda menjadi lebih paham akan sejarah masa lalu tanah leluhur. Dan semoga warga Tajug semakin gumregah –baik dalam nguri-uri peninggalan leluhur maupun dalam membangun desa tercinta.





Fotografer: Tri Rahayu Ningsih



post signature

3 komentar: