Musim
ulangan tengah semester seperti sekarang, biasanya saya mengajar les pagi.
Sebab salah satu anak les saya punya jadwal masuk siang. Kebetulan dia kelas 7
SMP.
Oh ya,
profesi saya memang guru les seperti yang telah saya ceritakan di sini.
Seperti
Sabtu pagi kemarin. Pukul 06.30, saya sudah duduk manis di rumah Bram, anak les
saya. Memang hari itu pagi sekali saya datang karena dia harus masuk pukul
08.45. Hari-hari sebelumnya, kami (tepatnya Bram) mulai belajar agak lebih siang
menyesuaikan jadwal UTS-nya yang mulai pukul 11.30.
Di
tengah-tengah kami serius membahas materi dan latihan soal untuk UTS hari itu,
sayup-sayup ada suara dari sebuah pengeras suara. Makin lama makin dekat, makin
keras pula suaranya.
“Gathot,
gathot. Tiwul, tiwul. Ketan, ketan. Gathot, tiwul, ketan. Sebungkus harganya
seribu.” Demikian bunyi yang keluar dari pengeras suara tadi.
Saya
tanya sama Bram suara apa itu. Bram menjawab kalau itu adalah penjual ketan
keliling. Di luar, ternyata ayahnya Bram menghentikan sang penjual. Beliau
rupanya mau sarapan tiwul. Bukan cuma untuk beliau sendiri. Tapi untuk
sekeluarga. Dan tentu saya juga hehehe!
Kok
pe-de sekali saya bakal dapat jatah?
Salah
satu enaknya jadi guru les privat adalah selalu tersedianya cemilan untuk teman
belajar. Namun bukan berarti itu suatu keharusan ya :D. Hanya saja,
Alhamdulillah-nya, semua keluarga anak les saya baik hati dan tidak sombong. Jadi
urusan cemilan selalu ada.
OK,
kembali ke soal penjual ketan tadi. Ketika berhenti lama di depan rumah Bram,
suara tadi terus terdengar berulang-ulang. Apa nggak capek ya, pikir saya. Usut
punya usut, setelah didengar dengan seksama, itu bukan suara live sang
penjual alias hanya rekaman yang diputar dari pemutar musik.
Wah,
kreatif juga orang ini, pikir saya.
Biasanya,
penjual ketan dan sebangsanya ini adalah perempuan paruh baya dengan bakul yang
digendong di punggungnya. Tapi kali ini yang jualan adalah bapak-bapak dan
belum terlalu tua.
Dia
juga mengendarai sepeda motor yang diberi kotak untuk menaruh dagangan di
bagian belakang. Seperti abang penjual sayur kebanyakan. Bedanya hanya
jualannya saja. Dia menjajakan penganan tradisional. Plus caranya berpromosi
yang tidak biasa.
Bapak
ini membuat semacam jingle sederhana untuk mempromosikan dagangannya.
Persis seperti promosi roti merk terkenal yang biasa dijajakan keliling itu. Bedanya,
bila jingle roti itu ada nadanya, yang ini tidak ada sama sekali. Hanya
semacam pemberitahuan penganan apa saja yang dia jual.
Dan inilah penampakan aneka penganan yang tersebut di rekaman promosi
tadi.
![]() | ||
Gathot (atas) dan tiwul (bawah) |
Ada gathot, tiwul, dan ketan. Semua dikemas dengan kemasan berbeda
pula dari biasanya. Yang umum, bungkus penganan tradisional ini adalah daun
pisang. Tapi kali ini menggunakan plastik mika sebagai pembungkusnya. Sehingga
tampilannya jadi lebih menarik. Harganya, seperti tersebut di jingle tadi,
hanya seribu rupiah per bungkus. Murah sekali, kan?
Kalau tiwul dan ketan pasti hampir semua orang sudah tahu ya.
Tiwul adalah makanan yang terbuat dari singkong. Dalam kemasan ini sajiannya diberi parutan kelapa. Di kampung-kampung
seperti daerah saya, biasanya dipakai sebagai pengganti nasi beras. Rasanya?
Top markotop bagi yang suka. Tiwul dipercaya dapat menyembuhkan penyakit maag. Makanya,
orang desa kebanyakan sehat karena makan tiwul. Demikian kata mbah-mbah saya
dulu.
Ketan
juga sudah banyak dikenal di daerah lain. Terbuat dari beras ketan yang dimasak
seperti nasi. Disajikan bersama parutan kelapa dan bubuk kedelai yang telah
dicampur dengan bubuk gula. Jadi bubuk kedelainya rasanya manis.
Gathot
sebenarnya masih saudara jauh dengan tiwul. Kenapa? Karena sama-sama terbuat
dari singkong. Hanya proses pembuatannya yang berbeda.
Kalau
tiwul, gaplek alias singkong keringnya harus dibuat tepung gaplek
dulu baru diproses menjadi tiwul. Nah, untuk gathot, gaplek-nya tidak
perlu dibuat tepung. Gaplek tadi direndam dalam air supaya lunak. Baru kemudian
dipotong kecil-kecil dan dikukus. Rasanya enak dan mengenyangkan. Taburan
kelapa parut yang diberi garam menambah nikmat rasa gathot-nya.
Mungkin ada yang bertanya, kenapa warnanya hitam? Singkong jadi menghitam selama proses
penjemuran karena jamur dan bakteri. Tapi itu semua aman untuk dikonsumsi. Jadi
tidak perlu khawatir.
Alhamdulillah,
sebungkus ketan plus teh manis sudah cukup membuat saya kenyang. Tapi tidak
dengan Bram. Dia masih kuat makan tiwul setelah ketannya ludes. Gathot juga serasa
melambai-lambai ingin dimakan. Anak dalam masa pertumbuhan memang makannya
banyak yaa :D.
Sebenarnya
saya ingin mengambil gambar si bapak penjual ketan plus gerobaknya itu. Tapi
berhubung malu sama orang tuanya Bram, kandaslah niatan itu.
Satu
pelajaran yang bisa saya ambil dari bapak penjual tadi: apapun jualannya,
kreatifitas tetap yang utama. Kreatif dalam promosi, kreatif pula dalam
pengemasan. Seperti yang penjual ini lakukan. Dengan membuat kemasan berbeda, penganan
sederhana menjadi lebih berkelas. Harganya murah tapi tidak murahan. Pun,
promosi yang berbeda membuat jualannya lebih menarik.
Sedikit tindakan memang dapat menghasilkan sesuatu yang berbeda.
Sedikit tindakan memang dapat menghasilkan sesuatu yang berbeda.