Memiliki
murid les yang seorang slow learner membuat saya belajar #beranilebih
sabar menghadapi anak-anak. Memang tidak mudah. Tapi ‘tamparan’ dari sahabat
saya membuka pandangan saya.
Adalah
Kiki, salah satu murid les saya. Seorang remaja perempuan tanggung kelas 7 di
sebuah sekolah Islam negeri di kota saya. Parasnya cantik dengan postur tubuh
proporsional untuk anak seusia dia.
Kiki
sedikit berbeda dari anak sebayanya. Saya menyadari itu setelah beberapa kali
pertemuan mendampinginya belajar privat. Dia termasuk lambat dalam memahami pelajaran.
Dan itu membuat saya frustasi pada awal-awal pertemuan.
Betapa
tidak. Beberapa kali diterangkan satu materi, tapi setiap kali ditanya dia
selalu menjawab tidak tahu. Dan itu berulang kali terjadi.
Bukan
hanya lambat dalam memahami pelajaran. Kiki juga dapat dibilang memiliki respon
lambat dalam berkomunikasi. Kadang bicaranya kurang jelas, suka belibet (apa
ya kata tepatnya?). Membaca teks pun kadang suka missed. Dia juga pemalu
dan gampang down.
Sifat
kekanak-kanakan di usia remajanya makin
melengkapi rasa senewen saya. Istilahnya, Kiki adalah jiwa kecil yang
terjebak dalam tubuh bongsor. Duh, Gustii, macam ingin berhenti saja saya.
Memang
setiap anak itu istimewa. Dalam bukunya bahkan Ayah Edy menulis: tidak ada anak
bodoh. Dan itu selalu saya sugestikan di diri saya –terutama saat menghadapi
Kiki. Tapi di mana-mana cerita selalu senada. Teori indah sering tidak
berbanding lurus dengan praktek di lapangan. Jadilah, bila jadwalnya Kiki
belajar, serasa enggan kaki saya melangkah *tsaahhh.
Keadaan
Kiki yang begitu menguras hati *lebay* membuat saya curhat ke salah satu
sahabat saya. Lalu, apa jawaban sahabat saya?
Justru
anak seperti Kiki yang harus kamu bantu. Bukan cuma anak-anak yang dari
sononya sudah diberi otak encer. Begitu kira-kira kata sahabat saya.
Deg!
Telak sekali kata-kata sahabat saya itu.
Sedikit
saya flashback. Selama ini murid-murid saya lumayan bisa menyerap
pelajaran. Saya tidak perlu usaha yang ekstra untuk membuat mereka memahami
materi yang diajarkan. Baru kali ini, saya menghadapi anak seperti Kiki.
Demi
mendengar nasihat dari sahabat saya tadi, kemudian saya berfikir. Iya, ya. Mungkin
ini kesempatan buat saya untuk belajar menghadapi ‘anak istimewa’ semacam Kiki.
Ada tantangan yang harus saya taklukkan: emosi saya.
Setelah
puas curhat dan ngobrol bareng sahabat saya, saya putuskan bahwa saya harus
#beranilebih sabar menghadapi berbagai macam karakter anak –terutama yang
seperti Kiki. Dan Kiki adalah cara Allah untuk membuat saya belajar #beranilebih
sabar secara langsung.
Saya
kemudian juga diskusi dengan teman lain yang lebih paham tentang strategi
pembelajaran yang bisa saya terapkan dalam menghadapi Kiki. Gegara Kiki pula,
saya browsing artikel tentang macam-macam karakter anak pembelajar. Hingga
saya menemukan artikel tentang tipe pembelajar slow learner.
Slow
learner adalah anak dengan tingkat penguasaan materi yang
rendah tetapi tidak termasuk anak tunagrahita. Mereka
membutuhkan waktu belajar lebih lama dibanding dengan sebayanya. Sehingga
mereka memerlukan layanan pendidikan khusus. Hampir kebanyakan ciri Kiki
mengarah ke tipe ini.
Solusinya?
Syarat utamanya, saya sebagai guru privatnya harus #beranilebih sabar karena
anak seperti ini memerlukan 3-5 kali lebih banyak pengulangan untuk membuatnya
benar-benar memahami materi.
Semoga saya terus #beranilebih sabar menghadapi anak-anak istimewa. Karena ternyata sabar membuat saya lebih bahagia.
**************************
FB : Vhoy Syazwana
Twitter : @VhoyZwan
Jumlah kata: 499 (termasuk judul)